Saturday, 23 January 2016

Sang Ular putih

Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Hampir tidak ada yang berita yang tidak diketahui olehnya, seolah-olah berita dan rahasia mengalir melalui udara hingga sampai ke telinganya.
Raja itu memiliki satu kebiasaan aneh. Setiap makan malam, saat pelayan yang melayaninya pergi meninggalkan dia sendirian, seorang pelayan yang sangat dipercayainya akan datang membawakan satu makanan yang diletakkan di atas sebuah piring. Makanan tersebut selalu tertutup, bahkan sang pelayan yang membawanya, tidak pernah tahu apa isinya, dan sang Raja tidak pernah membukanya kecuali dia benar-benar berada dalam ruangan itu sendirian.
Hal ini berlangsung cukup lama, hingga suatu hari seorang pelayan yang masih muda, yang ditugaskan untuk membawa piring makanan itu, menjadi penasaran dan membawa makanan tersebut ke kamarnya.
Pemuda tersebut mengunci pintu kamarnya, lalu membuka penutup piring untuk melihat isinya, dan di piring tersebut dilihatnya seekor ular yang berwarna putih. Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mencobanya. Dia memotong sedikit bagian dari ular putih itu dan memasukkannya ke mulutnya.
Rasanya terasa tidak enak, tetapi saat itu juga dia bisa mendengarkan bisikan-bisikan merdu dari jauh. Dia lalu menuju ke jendela dan mendengarkannya, dan menyadari bahwa bisikan tersebut datang dari  burung kakatua di luar. Burung kakatua tersebut saling bercakap-cakap tentang hal-hal yang terjadi dan yang mereka lihat atau dengarkan di hutan. Ternyata dengan memakan daging ular putih, memberikan mujizat kepada sang Pemuda untuk mengerti bahasa binatang.
Pada hari yang sama, sang Ratu kehilangan cincinnya yang sangat berharga. Semua kecurigaan ditimpakan kepada pemuda ini, karena dia adalah pelayan kepercayaan yang bebas keluar-masuk ke manapun di dalam istana. Sang Raja pun mengancam akan menghukum pemuda ini apabila cincin yang hilang tidak ditemukan pada keesokan harinya.
Dengan sia-sia pemuda ini membela diri, tetapi tak ada satu pun orang yang percaya kepadanya. Dalam kesedihannya, dia lalu berjalan ke taman istana dan berpikir bagaimana caranya agar bisa lepas dari kesulitan ini. Saat itu, sejumlah bebek yang sedang berenang di sungai kecil, bercakap-cakap riuh dengan sesamanya.
Sang Pemuda mendengarkannya percakapan mereka tentang pengalaman mereka di pagi hari, dan salah satu dari bebek itu berkata: “Saya tanpa sengaja menelan cincin Ratu tadi pagi.”
Pelayan yang masih muda ini langsung mengambil bebek tersebut dan membawanya ke dapur, lalu berkata kepada tukang masak di sana: “Ini adalah bebek yang gemuk, sebaiknya kamu memotongnya untuk dijadikan santapan.”
“Tentu saja,” kata si tukang masak. “Seharusnya bebek ini di panggang semenjak dulu."
Si Tukang masak tersebut lalu memotongnya, dan di dalam perutnya ditemukanlah cincin Ratu. Dengan begitu, sang Pemuda bebas dari segala tuduhan, dan raja yang merasa bersalah karena telah berlaku tidak adil tadinya, berjanji akan memberikan jabatan di istana apabila sang Pemuda menginginkannya.
Tetapi sang Pemuda menolaknya dengan halus, dan hanya meminta sebuah kuda, dan sedikit uang untuk mengembara, karena dia hanya ingin berkelana melihat dunia luar.
Permintaannya dikabulkan, dan dia pun mulai mengembara.
Suatu hari, dia tiba di pinggir laut dan di sana dilihatnya tiga ekor ikan yang terjebak pada akar-akar tanaman yang tumbuh di pinggir laut. Karena pemuda tersebut memiliki hati yang baik, dia lalu turun dari kudanya, membebaskan ketiga ikan tersebut. Ikan-ikan tersebut berenang dengan gembira, menyembulkan kepalanya dari air dan berkata, “Kami akan ingat selalu perbuatan baikmu, dan akan membalasnya dengan kebaikan.”
Sang Pemuda kembali melanjutkan perjalanannya dan tidak berapa lama, dia mendengarkan satu suara dari tanah di bawah kakinya. Dia mendengar raja semut mengeluh: “Saya berharap manusia dan binatang peliharaannya tidak melalui jalanan kami. Kuda itu baru saja menginjak banyak semut.”
Sang Pemuda pun langsung memutarkan kudanya agar tidak menginjak barisan semut yang lewat, dan raja semut pun berkata: “Kami akan mengingat kebaikanmu dan memberikan kamu balasan yang setimpal.”
Di perjalanan selanjutnya, dia melewati suatu hutan, dan dilihatnya sepasang burung gagak berdiri di sarangnya dan mendorong keluar anak-anak gagak yang masih sangat muda.
“Pergilah sekarang,” kata sepasang gagak, "Kami tidak akan memberikan kalian makanan lagi, sebab kalian sudah cukup besar untuk menjaga diri sendiri.”
Anak-anak burung gagak yang masih sangat muda itu akhirnya jatuh dan terbaring di tanah karena belum mampu untuk terbang. Mereka mencoba untuk mengepak-ngepakkan sayapnya kembali dengan sia-sia dan berkata: “Kami, anak gagak yang malang dan tidak berdaya, belum mampu untuk mencari makan sendiri, bahkan kami pun belum mampu untuk terbang! Tidak lama lagi kami akan mati kelaparan.”
Sang Pemuda lalu turun dari kudanya, mencari-cari ulat di tanah untuk disuapkan kepada anak-anak gagak terebut. Anak-anak gagak itu semuanya melompat-lompat gembira dan berkata: “Kami akan mengingat kebaikanmu, dan akan memberikan balasan yang setimpal.”
Sang Pemuda kemudian melanjutkan perjalanannya dan tiba di suatu kota besar. Di satu tempat dilihatnya kerumunan orang yang ramai mengelilingi seseorang yang duduk di atas kudanya dan membacakan sayembara. “Putri raja akan mencari suami, semua pemuda boleh mengikuti sayembara, tetapi apabila pemuda itu gagal dalam sayembara, maka dia akan menerima hukuman dari raja.”
Banyak pemuda yang ikut dalam sayembara itu, tetapi selalu gagal dan menerima hukuman. Saat sang Pemuda melihat kecantikan putri raja, dia menjadi terkagum-kagum dan melupakan semua bahaya dengan mendaftarkan dirinya sebagai peserta sayembara.
Dia langsung di bawa ke tepi laut untuk diuji, dan sebuah cincin emas di lemparkan ke dalam laut. Kemudian raja menyuruhnya untuk mengambilnya dari dalam laut yang cukup dalam sambil berkata: “Jika kamu kembali ke daratan tanpa membawa cincin itu, kamu akan dihukum dan dilemparkan kembali ke laut.”
Semua orang yang hadir untuk menonton sayembara, menjadi iba dan menaruh belas kasihan terhadap pemuda itu. Sang Pemuda lalu berjalan menuju ke laut sembari berpikir apa yang akan dilakukannya. Pada saat itu dilihatnya tiga ekor ikan berenang ke arahnya. Mereka tidak lain merupakan ikan yang pernah diselamatkannya.
Ikan yang di tengah, menggigit sebuah kulit tiram dan meletakkannya di pasir pada pinggiran laut dekat kaki sang Pemuda, yang langsung sigap mengambilnya dan membuka isinya. Sang Pemuda itu menemukan cincin yang tadinya dilemparkan oleh sang Raja di dalam kulit tiram tersebut.
Enggan gembira, dia membawanya ke hadapan sang Raja dan berharap bahwa raja akan memenuhi janjinya. Saat sang Putri mendengar bahwa pemuda yang memenangkan sayembara berasal dari kalangan biasa, maka dia meminta sang Raja untuk menambah sayembara itu dengan ujian yang lain.
Oleh karena itu, sang Pemuda dibawa ke suatu taman untuk diuji lagi. Di taman tersebut telah ditaburkan sepuluh kantung biji gandum di antara rumput-rumputan.
“Dia harus memungut semuanya sebelum matahari terbit besok pagi,” kata sang Putri, “dan jangan sampai ada sebutir pun yang tertinggal.”
Sang Pemuda duduk merenung sedih di taman itu sambil berpikir bagaimana melakukan tugas yang tidak mungkin tersebut. Dia hanya duduk termenung sedih hingga pagi hari. Saat sinar matahri pertama menyinari taman, dilihatnya di taman itu sudah tersusun sepuluh kantung biji gandum tanpa ada sebutir gandum pun yang hilang. Ternyata pada malam hari, raja semut datang dengan ratusan ribu semut lain dan membantunya mengumpulkan biji gandum.
Sang Putri yang datang untuk melihat sendiri hasil sayembaranya, terkejut dan kagum saat mengetahui keberhasilan sang Pemuda menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi dia masih keras kepala dan dengan angkuh berkata: “Walaupun dia telah menyelesaikan dua ujian, dia tidak akan bisa menjadi suami saya kecuali dia bisa membawakan saya buah apel dari pohon kehidupan.”
Sang Pemuda tidak mempunyai gagasan di mana dia bisa mendapatkan pohon kehidupan. Tetapi bagaimanapun juga, dia tetap berangkat dan berjalan tanpa tujuan, dengan harapan yang sangat tipis untuk bisa menemukan pohon tersebut.
Saat dia telah melintasi tiga kerajaan, dia tiba di suatu hutan dan berbaring di bawah satu pohon rindang untuk beristirahat. Tiba-tiba didengarnya bunyi gemerisik di atas pohon dan sebuah apel emas jatuh ke tangannya. Pada saat bersamaan, tiga ekor burung gagak terbang dan hinggap dekat kakinya sambil berkata: “Kami adalah burung gagak muda yang pernah engkau selamatkan. Saat kami tumbuh dewasa, kami mendengar bahwa kamu mencari apel emas, kami menyeberangi lautan hingga ke ujung dunia di mana pohon tersebut berada, dan membawa buah apel yang tumbuh di pohon tersebut untukmu.”
Sang Pemuda menjadi sangat gembira, dan melanjutkan pejalanan pulang untuk memberikan apel tersebut kepada sang Putri. Saat dia tiba di tempat tujuan dan menepati janjinya untuk memberikan apel tersebut sebagai syarat sayembara, sang Putri menjadi terharu dan tidak memiliki alasan lain lagi untuk menolak sang Pemuda.
Sang Putri pun membagi apel kehidupan itu untuk dimakan bersama sang Pemuda. Saat itu hati mereka berdua diliputi kegembiraan, dan akhirnya hidup berbahagia selama-lamanya.