Batu Menangis
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan.
Hanya
selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan
itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk
pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang
janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting
tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari
kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga,
mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh
upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba
melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia
memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin
dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.
Begitulah,
hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang
dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya
menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang
mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
Akhirnya
mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi
terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan
dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh
tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa
tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang terus
menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin
hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil
bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.
Ibunya
Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan.
Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh
Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong
hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba
langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang
menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun
dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah
dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan
terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan
pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu,
tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu.
Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat
anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah
menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya
dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis
hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.