Legenda Si Jampang
Jampang adalah lelaki Betawi yang hidup pada masa Indonesia masih
dijajah Belanda. Ia dikenal tinggi ilmu silatnya. Piawai pula memainkan
golok untuk senjata. Sejak masih muda usianya, Si Jampang suka merampok.
Hingga kemudian ia menikah, tetap juga kebiasaannya merampok itu
dilakukannya. Bahkan ketika istrinya meninggal dunia dan anaknya telah
beranjak remaja.
Meski
dikenal sebagai perampok, Si Jampang tidak ingin anaknya itu mengikuti
jejaknya. Ia menghendaki anaknya menjadi ahli agama. Maka, hendak
dimasukkannya anaknya itu ke pesantren. Anak Si Jampang bersedia masuk
pesantren dengan syarat ayahnya itu menghentikan tindakan buruknya.
“Masak anaknya mengaji di pesantren tapi babehnya kerjaannya merampok?
Apa kata orang nanti, Be?”
Si Jampang hanya tertawa mendengar ucapan anaknya. Pada suatu hari Si
Jampang mengunjungi Sarba, sahabat Iamanya. Ia telah lama tidak
berkunjung. Sama sekali tidak disangkanya jika sahabatnya itu telah
meninggal dunia.
Ia ditemui Mayangsari, istri mendiang Sarba. Mayangsari bercerita, ia
dan suaminya itu dahulu berziarah ke Gunung Kepuh Batu. Mereka berdoa
di tempat itu dan memohon agar dikaruniai anak. Sarba berjanji,jika
doanya dikabulkan, ia akan menyumbang dua ekor kerbau. Doa mereka
akhirnya dikabulkan Tuhan. Mayangsari hamil dan akhirnya melahirkan
seorang anak lelaki yang mereka beri nama Abdih. Ketika Abdih beranjak
remaja, Sarba meninggal dunia. “Kata orang, suami aye’ itu meninggal
karena lupa pada janjinya yang akan menyumbang dua ekor kerbau.”
Mendapati Mayangsari telah menjanda sementara dirinya juga telah
menduda, Si Jampang lantas melamar Mayangsari. Namun, Mayangsari menolak
dengan kasar pinangan Si Jampang. Si Jampang yang sakit hati lalu
mencari dukun untuk mengguna-gunai Mayangsari. Dengan bantuan
keponakannya yang bernama Sarpin, didapatkannya dukun itu. Pak Dul
namanya, seorang dukun dari kampung Gabus. Si Jampang lantas
mengguna-gunai Mayangsari dengan guna-guna dari Pak Dul.
Mayangsari jadi gila setelah terkena guna-guna. Ia sering berbicara
dan tertawa sendiri. Abdih yang sangat prihatin pun berusaha mencari
cara untuk menyembuhkan kegilaan yang dialami ibunya. Abdih lantas
mencari dukun. Kebetulan dukun yang ditemuinya adalah Pak Dul dari
kampung Gabus hingga Pak Dul dapat dengan mudah melepaskan gunaguna yang
mengena pada diri Mayangsari.
Si Jampang lantas menemui Abdih dan menyatakan minatnya untuk memperistri ibu Abdih itu.
“Aye tidak menolak pinangan Mang’ Jampang untuk ibu aye, tapi aye minta syarat, Mang,” jawab Abdih.
“Syarat apa yang kamu minta?”
“Aye minta sepasang kerbau untuk mas kawinnya, Mang,”
Si Jampang menyanggupi, meski sepasang kerbau bukan perkara yang
gampang untuk didapatkan Si Jampang. Si Jampang berusaha memikirkan cara
untuk mendapatkan sepasang kerbau. Teringatlah ia pada Haji Saud yang
tinggal di Tambuh. Haji Saud sangat kaya, namun sangat kikir. Si Jampang
lantas menghubungi Sarpin dan mengajak keponakannya itu merampok rumah
Haji Saud.
Rupanya, rencana perampokan itu telah diketahui Haji Saud. Haji Saud
telah menghubungi polisi. Para polisi segera bersiaga di sekitar rumah
Haji Saud. Maka, ketika Si Jampang dan Sarpin yang mengenakan baju
hitam-hitam itu datang hendak merampok, para polisi segera mengepungnya.
Si Jampang ditangkap dan dipenjarakan. Ia kemudian dijatuhi hukuman
mati.
Kematian Si Jampang disambut gembira para tauke dan tuan tanah karena
merasa terbebas dari keonaran yang dilakukan Si Jampang. Namun,
kematian Si Jampang ditangisi rakyat miskin. Meski dikenal selaku
perampok, namun Si Jampang banyak memberikan bantuannya kepada mereka.
Kebanyakan Si Jampang membagi-bagikan hasil rampokannya itu kepada
mereka yang membutuhkan. Bagi rakyat miskin, Si Jampang adalah sosok
pahlawan.