Sunday, 31 January 2016

Singa dan Lembu Jantan

Tiga Lembu Jantan dan Singa

Seekor singa telah lama mengamati 3 ekor lembu jantan yang sedang makan di padang rumput yang terbuka. Sang Singa telah beberapa kali mencoba untuk menyerang kawanan lembu tersebut, tetapi kawanan tersebut selalu bersatu, saling membantu satu sama lain sehingga sang Singa selalu mengalami kegagalan. Sang Singa hanya memiliki harapan tipis untuk memangsa lembu-lembu tersebut karena sang Singa bukanlah tandingan ketiga lembu jantan yang kuat, bertanduk tajam dan berkuku kaki yang keras. Tetapi sang Singa tidak pernah meninggalkan padang tersebut karena selalu tergiur untuk memangsa kawanan lembu itu.
Suatu hari, kawanan lembu ini bertengkar hebat sesamanya, dan akibat pertengkaran itu, mereka sekarang berdiri sendiri-sendiri, terpisah jauh antara yang satu dengan yang lainnya.
Saat itulah sang Singa dengan mudahnya menerkam lembu-lembu tersebut satu-persatu.

Labu dan Biji Pohon Oak

Biji Pohon Oak Dan Labu

Semua yang diciptakan oleh Tuhan adalah sempurna, untuk membuktikannya saya tidak perlu mengelilingi dunia untuk mencarinya, Saya dapat menemukan kesempurnaan itu di dalam sebuah labu.
Seorang petani yang tinggal di desa suatu saat berpikir tentang besarnya sebuah labu dan kecilnya batang dimana labu tersebut tumbuh. "Apa yang Tuhan pikirkan kira-kira ya?" katanya pada diri sendiri. "Tuhan mungkin menumbuhkan labu tersebut di batang yang kurang sesuai. Seandainya saya yang menciptakan labu ini, saya akan menumbuhkan dan menggantungnya di pohon oak. Seharusnya disanalah tempat yang tepat. Buah yang besar, sepantasnya berasal dari pohon yang besar! sayang sekali!" katanya kepada diri sendiri, "Sebagai contoh, biji pohon oak ini, yang sekecil jari tangan saya, seharusnya di gantungkan pada batang labu yang kurus ini."
Karena terlalu banyak berpikir dan berangan-angan, petani tersebut menjadi mengantuk dan berbaring di bawah pohon Oak, dan tidak berapa lama kemudian, dia tertidur dengan pulas.
Saat itulah sebuah biji pohon oak jatuh tepat di atas hidungnya. Petani itu terkejut dan terbangun dari tidurnya sambil mengusap hidungnya yang kesakitan dan mengeluarkan darah. "Aduh.. aduh..!" teriaknya, "Hidungku berdarah, bagaimana seandainya sesuatu yang lebih berat jatuh dari pohon ini dan menimpa kepala saya; bagaimana seandainya biji pohon oak ini adalah sebuah labu? Saya tadinya meragukan ciptaanNya, sekarang saya telah mengerti semuanya dengan sempurna."
Lalu sang Petani itupun memuji dan bersyukur kepada Tuhan sambil berjalan pulang ke rumahnya.

Pria lagi Bersedih

Pria yang Menangis Sedih

Seorang pengembara, bertemu dengan seorang pria lain yang sedang menangis sedih. "Apa yang kamu tangisi?" katanya.
"Saya menangis karena menyesali perbuatan-perbuatanku yang buruk di masa lalu," kata pria yang menangis.
"Kamu sepertinya kurang kerjaan, lupakanlah masa lalumu dan mulailah hidup yang lebih baik." kata si Pengembara.
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu kembali. Pria yang menangis beberapa hari lalu, masih ditemukan menangis sedih.
"Apa yang kamu tangisi sekarang?" kata si Pengembara.
"Saya menangis karena tidak memiliki apa-apa untuk saya makan." kata pria yang menangis.
"Saya sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi padamu." kata si Pengembara.
Selalulah berusaha untuk hidup lebih baik dibandingkan masa lalu

Si Gembel

Si Compang-Camping

Di sebuah rumah besar yang terletak di tepi pantai, hiduplah seorang bangsawan tua yang kaya raya, yang tidak memiliki istri dan anak yang masih hidup, kecuali seorang cucu perempuan yang wajahnya tidak pernah dilihatnya seumur hidup. Bangsawan Tua tersebut sangat membenci cucu perempuannya karena menganggap si Cucu Perempuan inilah yang menyebabkan kematian anak perempuan yang sangat disayangi saat melahirkan. Saat perawat akan memperlihatkan sang cucu yang masih bayi, Bangsawan Tua tersebut menolak bahkan berkata dan bersumpah, apapun yang terjadi pada cucunya, hidup ataupun mati, dia tidak akan pernah mau melihat wajah cucunya tersebut.
Lalu dia membalikkan badan, duduk di dekat jendela sambil memandang ke arah laut, menangisi anak perempuannya yang telah meninggal, hingga rambut dan janggutnya yang putih tumbuh melebihi bahu serta mengelilingi tempat duduknya hingga akhirnya menyentuh lantai, dan air matanya yang menetes turun lewat jendela, membentuk alur pada batu di bawahnya dan akhirnya menjadi sungai kecil yang menuju ke laut. Sementara itu, cucu perempuannya tumbuh tanpa ada yang memberikan perhatian, atau memberinya pakaian yang layak, hanya perawat tuanyalah yang berbaik-hati, dimana saat tidak terlihat orang lain, kadang memberikan dia sedikit makanan dari dapur, atau pakaian yang penuh dengan tambalan dan terbuat dari kain karung; sementara pelayan-pelayan di rumah itu sering mengusirnya keluar dengan pukulan ataupun ejekan, memanggil dia dengan sebutan si "Compang-camping", menunjuk-nunjuk kaki dan bahunya yang telanjang, hingga akhirnya sang Cucu berlari keluar, menangis, dan bersembunyi di semak-semak.
Akhirnya sang Cucu beranjak menjadi dewasa dengan makanan dan pakaian yang seadanya, menghabiskan lebih banyak waktunya di luar rumah dengan hanya di temani oleh seorang penggembala angsa yang pincang. Si Gembala Angsa ini adalah orang yang sangat periang, di saat sang Cucu kelaparan, kedinginan, atau keletihan, si Gembala tersebut akan memainkan suling kecilnya sehingga sang Cucu melupakan semua masalahnya dan akhirnya ikut menari bersama sekumpulan angsa.
Pada suatu hari, orang-orang ramai membicarakan tentang Raja yang akan melakukan perjalanan melalui tanah dan kota mereka, dan untuk itu, Raja akan membuat perjamuan dan pesta dansa yang besar untuk para bangsawan dari negeri tersebut, dan Pangeran, putra satu-satunya, akan memilih seorang istri dari kalangan bangsawan tersebut. Saat waktunya tiba, salah satu undangan kerajaan untuk menghadiri pesta dansa sampai ke rumah sang Bangsawan Tua. Seorang pelayan mengantarkan undangan tersebut ke Bangsawan Tua yang masih duduk di dekat jendela, terlilit oleh rambut putihnya yang panjang dan masih meneteskan airmata ke sungai kecil di bawah jendela.
Saat mendengar perintah sang Raja dalam undangan, dia mengeringkan air mata dan menyuruh pelayan untuk memotong rambutnya yang panjang. Kemudian dia menyuruh mereka untuk mempersiapkan baju dan perhiasan yang mewah yang akan dipakainya; lalu dia juga memerintahkan mereka untuk memberi pelana yang berhiaskan emas dan sutra pada kuda putihnya, karena sang Bangsawan Tua akan mengendarai kuda bersama dengan sang Raja; Namun dia sama sekali lupa bahwa dia memiliki seorang cucu perempuan yang bisa dibawa ke pesta dansa tersebut.
Sementara itu si Compang-camping duduk di lantai dapur sambil menangis saat mengetahui bahwa dirinya tidak dibawa untuk menghadiri pesta dansa. Dan ketika perawat tua mendengarnya menangis, dia lalu menghadap ke Bangsawan Tua, memohon agar bangsawan tersebut membawa cucu perempuannya menghadiri pesta dansa sang Raja.
Tetapi bangsawan tua itu cuma mengernyitkan dahi dan menyuruhnya diam; sementara pelayan yang lain tertawa dan berkata sinis, "Si Compang-camping cukup senang dengan pakaian tambalannya dan bermain bersama si Gembala Angsa! Biarkan saja dia, karena dia sudah pantas dengan keadaannya yang sekarang."
Kedua dan ketiga kalinya, perawat tua tersebut terus memohon agar sang Cucu dapat ikut ke pesta, tetapi jawaban yang didapatkan adalah tatapan marah dan kata-kata yang kasar, hingga akhirnya dia dikeluarkan dari ruangan oleh pelayan-pelayan yang mengolok-oloknya dengan kata-kata kasar disertai pukulan.
Sang perawat tua menangis sedih karena tidak berhasil membujuk tuannya, berusaha untuk mencari si Compang-camping; tetapi gadis tersebut telah diusir keluar oleh tukang masak di dapur, dan mencari temannya si Gembala angsa untuk menceritakan kepedihannya karena tidak dapat hadir di pesta sang Raja.
Saat Gembala Angsa mendengarkan kisahnya, dia lalu menghiburnya dan mengajukan usulan agar mereka pergi bersama menuju kota untuk melihat Raja dan segala hal yang indah-indah; dan ketika si Compang-Camping terlihat sedih saat memandang bajunya yang terbuat dari tambalan-tambalan kain karung serta kakinya yang tidak memiliki alas kaki, sang Gembala memainkan satu-dua lagu dengan sulingnya hingga suasana berubah ceria, dan si Compang-Camping melupakan semua derita dan air matanya, dan tanpa disadarinya, sang Gembala telah menarik tangannya untuk menari sepanjang jalan menuju kota.
"Yang lumpuh pun masih bisa menari apabila mau," ujar si Gembala Angsa sembari meniup sulingnya.
Sebelum mereka berjalan terlalu jauh, seorang pemuda yang tampan, berpakaian mewah, berkendara kuda, berhenti untuk menanyakan arah kastil di mana sang Raja menginap, dan ketika dia tahu bahwa arah yang mereka tuju adalah sama, sang Pemuda turun dari kudanya dan berjalan bersama mereka.
"Kamu sepertinya orang yang menyenangkan dan enak dijadikan teman," katanya,
"Teman yang baik, pastinya," kata sang Gembala lalu meniup sulingnya dengan nada yang aneh.
Nada sulingnya sangat aneh, dan membuat sang Pemuda menatap dan menatap terus ke arah si Compang-Camping hingga dia tidak memperhatikan lagi baju yang penuh tambalan yang tengah dikenakan oleh si Compang-Camping. Hanya wajah cantik si Compang-Camping yang terlihat menarik perhatian sang Pemuda.
Lalu sang Pemuda berkata, "Kamu adalah wanita tercantik di dunia, Maukah engkau menjadi pendamping hidup saya?"
Saat itu sang Gembala Angsa tersenyum sendiri dan memainkan lagu yang sangat merdu.
Tetapi si Compang-Camping hanya tertawa. "Anda salah, sepertinya saya tidak pantas untuk jadi pendamping Anda," katanya; "Anda akan merasa malu demikian juga dengan saya, apabila Anda mengangkat gadis seperti saya menjadi istri Anda! Pergi dan pinanglah salah seorang dari gadis bangsawan yang Anda lihat nantinya di pesta dangsa Raja, dan tidak usah memperhatikan gadis miskin seperti saya."
Semakin sang gadis menolak, semakin merdu lagu yang dimainkan oleh si Gembala Angsa, dan semakin dalam jugalah sang Pemuda jatuh cinta kepada si Compang-Camping; hingga akhirnya sang Pemuda memohon agar si Compang-Camping berkenan hadir di pesta dansa Raja pada jam 12 malam nanti, bersama dengan Gembala Angsa dan angsa-angsanya, seadanya seperti sekarang, dengan pakaiannya yang penuh tambalan dan tanpa alas kaki, sebab sang Pemuda akan membuktikan bahwa dia akan tetap sudi berdansa dengannya di depan sang Raja dan seluruh bangsawan, sembari memperkenalkan bahwa dia adalah calon pengantinnya.
Saat si Compang-Camping akan menolak kembali, sang Gembala berkata, "Terimalah rezekimu yang datang saat ini."
Saat malam tiba, halaman kastil dipenuhi dengan cahaya dan suara musik, dimana para bangsawan menari di depan Raja. Tepat saat jam menunjukkan pukul 12 malam, si Compang-Camping dan si Gembala Angsa, diikuti oleh kumpulan angsa yang riuh, memasuki pintu besar dan berjalan lurus langsung ke lantai dansa, sementara di samping kiri dan kanan, para bangsawan berbisik-bisik sambil tertawa meledek, dan Raja yang duduk di takhta, menatap dengan tatapan heran dengan pemandangan yang ganjil ini.
Saat mereka tiba di depan takhta, sang Pemuda yang ternyata adalah Pangeran, bangkit dari kursinya di samping Raja, dan menyambut si Compang-Camping. Memegang tangannya, lalu berbalik menghadap raja.
"Ayahanda!" ujarnya. "Saya telah menentukan pilihan, dan gadis di samping saya inilah pengantin saya, wanita tercantik dan termanis yang pernah saya temui di dunia ini!"
Sebelum dia selesai berkata, sang Gembala Angsa meniupkan sulingnya dan memainkan beberapa lagi yang terdengar seperti kicauan burung di tengah hutan; pada saat itu juga, Pakaian si Compang-Camping berubah menjadi gaun dan jubah yang indah dan penuh dengan perhiasan berkilau. Tak hanya itu, sebuah mahkota terpasang di atas rambutnya yang berwarna emas, dan sekumpulan angsa di belakangnya menjelma dayang-dayang yang memegang gaun indahnya yang panjang hingga ke belakang.
Saat sang Raja bangkit untuk menyambut, terompet di bunyikan untuk menghormati sang Putri, Seketika itu pula orang-orang yang berada di jalan saling bercerita. "Ah, sekarang Pangeran telah mendapatkan gadis tercantik di seluruh negeri sebagai istrinya!"
Semenjak saat itu, sang Gembala Angsa tidak pernah terlihat lagi, dan tidak ada yang pernah tahu kemana sang Gembala Angsa pergi; sementara itu, bangsawan tua terpaksa pulang ke rumahnya karena tidak bisa menetap lebih lama lagi di kastil akibat sumpahnya untuk tidak akan pernah mau melihat wajah cucunya.
Sekarang si Bangsawan Tua itu masih duduk di dekat jendela, menangis dengan teramat sedih. Rambut putihnya tumbuh terurai hingga ke lantai, dan airmatanya mengalir seperti sungai yang menuju ke laut.

Raja berdagu Lancip

Raja Berdagu Lancip

Ada seorang raja yang memiliki putri yang sangat cantik tetapi sombong dan angkuh sehingga tidak satu pun pria yang dianggapnya sesuai dengan sang Putri. Selain menolak, sang Putri sering mengolok-olok mereka.
Pada suatu ketika, sang Raja mengadakan pesta besar dan mengundang semua Raja dan pemuda bangsawan yang belum menikah untuk hadir di pestanya. Saat pesta, mereka yang datang diatur untuk duduk sesuai dengan kedudukan dan pangkatnya.
Pertama adalah barisan raja, lalu pangeran, lalu bangsawan-bangsawan. Sang Putri lalu dihadirkan untuk diperkenalkan kepada Raja-raja dan pemuda bangsawan tersebut. Saat sang Raja dan Bangsawan dihadapkan kepada Sang Putri, sang Putri mengolok-olok mereka dan memberi julukan yang jelek-jelek pada setiap orang yang hadir.
Salah seorang pemuda yang gemuk, dijuluki "si Gendut" oleh sang Putri, pemuda yang terlalu tinggi dijuluki "Tiang". Untuk pemuda yang ketiga dan terlalu pendek dibandingkan sang Putri, dikatakan "si Bongsor, tidak cocok tinggal di istana," ledek sang Putri.
Pemuda keempat yang terlalu putih diolok dengan julukan "Muka Pucat", dan semua pemuda yang hadir mendapatkan julukan yang aneh-aneh dari sang Putri, termasuk seorang raja yang sangat tinggi dan memiliki dagu lancip.
"Lihat," kata sang Putri sambil tertawa, "dia memiliki dagu lancip seperti paruh burung," ejeknya.
Sejak saat itu, raja tersebut disebut dengan julukan "Paruh Lancip". Ayah sang Putri yang sangat marah karena melihat putrinya mengolok-olok semua yang hadir, membatalkan perjamuan, dan bersumpah bahwa sang Putri akan dinikahkan dengan pengemis yang pertama masuk ke pintu istana.
Beberapa hari setelah itu, datanglah seorang pria miskin yang mencari nafkah dengan cara menyanyi atau mengamen, berdiri di bawah jendela istana dan menyanyi demi mendapatkan sedikit uang. Saat sang Raja mendengar nyanyiannya, Raja memanggilnya masuk ke istana. Si Miskin kemudian masuk ke istana dengan pakaiannya yang sangat kotor, menyanyi untuk Raja dan Putri Raja. Setelah selesai, si Miskin  meminta sedekah dari sang Raja. Sang Raja lalu berkata, "Lagu yang kamu nyanyikan, sungguh membuat saya senang, maukah kamu apabila saya  menikahkan kamu dengan putriku." 
Si Miskin menjawab setuju untuk menikah dengan sang Putri.
Sang Putri menjadi sangat ketakutan, tetapi sang Raja berkata kembali, "Saya telah bersumpah untuk menikahkan kamu dengan pengemis yang pertama datang ke sini. Jadi, saya tidak akan mengubah sumpah saya!"
Tidak ada jalan lain, sang Putri akhirnya dinikahkan dengan si Miskin di depan pemuka agama. Setelah dinikahkan, sang Raja berkata, "Sekarang kamu telah menjadi istri dari seorang pengemis, kamu tidak saya perkenankan lagi untuk tinggal di istana, dan kamu harus ikut kemana pun suamimu pergi."
Si Miskin kemudian membawa sang Putri keluar dari istana dan melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki hingga sampai di kerajaan lain. Di perjalanan, mereka menjumpai hutan yang sangat luas, dan sang Putri bertanya, "Oh, milik siapakah hutan ini, begitu lebat dan bagus?"
Si Miskin menjawab, "Ini adalah milik Raja Dagu Lancip, dan mungkin saja bisa menjadi milik kamu."
Sang Putri menangis, "Oh, betapa bodohnya saya, seandainya saya menerima lamaran dari Raja Dagu Lancip!"
Mereka kemudian berjalan kembali hingga menjumpai padang rumput yang luas, "Oh, milik siapakah padang rumput ini, begitu hijau dan indah?"
Si Miskin menjawab, "Ini adalah milik Raja Dagu Lancip, dan mungkin saja bisa menjadi milik kamu."
Sang Putri menangis, "Oh, betapa bodohnya saya, seandainya saya menerima lamaran dari Raja Dagu Lancip!"
Lalu si Miskin berkata, "Saya kecewa mendengar kamu berharap untuk menjadi istri orang lain, apakah saya tidak cukup baik untuk kamu?"
Saat mereka tiba di sebuah gubuk yang kecil, sang Putri bertanya, "Oh! kasihan! Milik siapakah gubuk kecil yang saya lihat di sini?"
Si Miskin menjawab, "Ini adalah rumahku dan juga sekarang rumahmu."
Sang Putri berhenti sebelum masuk ke gubuk kecil itu dan bertanya, "Di manakah para pelayan?"
"Pelayan apa?" tanya si Miskin. "Kamu harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Menyalakan api, mengambil air, dan memasakkan saya makanan. Saya sangat letih."
Sayangnya sang Putri tidak tahu bagaimana menyalakan api dan memasak, sehingga si Miskin harus membantu dan turun tangan sendiri. Setiap subuh, sang Putri dibangunkan oleh si Miskin untuk membersihkan gubuk. Untuk beberapa hari, mereka hidup berkecukupan hingga persediaan makanan mereka hampir habis.
"Istriku," kata si Miskin. "Kamu sebaiknya bekerja membuat keranjang agar kita mendapatkan penghasilan tambahan."
Untuk itu, si Miskin keluar gubuk untuk memotong daun-daun yang bisa dijadikan anyaman lalu membawanya pulang. Sang Putri kemudian merajutnya, tetapi daun-daun yang keras dan tajam melukai tangannya yang halus.
"Sekiranya hal ini tidak berjalan dengan baik," kata si Miskin. "Sebaiknya kamu mencoba untuk menenun."
Sang Putri pun duduk dan mencoba untuk menenun, tetapi benang yang tajam, mengiris tangannya yang halus hingga berdarah.
"Lihatlah sekarang!" seru si Miskin. "Kamu tidak mampu mengerjakan apapun. Coba saya lihat nanti, mungkin saya dapat menjual pot dan pecah-belah, kamu cukup duduk saja di pasar dan menawarkan barang tersebut ke orang yang lalu-lalang."
"Aduh!" pikir sang Putri. "Bagaimana seandainya saat saya berjualan di pasar, orang-orang yang berasal dari kerajaan ayah saya akan mengenali saya dan saya akan diperolok oleh mereka?"
Tetapi tidak ada jalan selain cara itu, kalau tidak, mereka mungkin akan mati kelaparan. Hari pertama semua berjalan baik, orang-orang senang membeli jualannya karena sang Putri sangat cantik. Mereka membeli pot dan pecah-belahnya dengan harga berapa pun yang diberikan oleh sang Putri, sebagian malah memberikan dia uang tanpa mengambil pot pecah-belah yang telah dibeli.
Oleh sebab itu, si Miskin dan sang Putri dapat menghidupi diri mereka, bahkan si Miskin bisa menambah barang jualannya. Maka duduklah sang Putri di sudut pasar dengan barang dagangannya yang lebih banyak lagi. Suatu hari, seorang pengendara kuda yang mabuk, tanpa sengaja menabrak semua pot dan pecah-belah yang dijual oleh sang Putri hingga hancur berkeping-keping. Sang Putri tidak dapat berbuat apa-apa selain menangis.
"Aduh, apa yang akan terjadi pada saya," tangisnya. "Apa yang akan dikatakan oleh suami saya?"
Tidak lama setelah itu, sang Putri pun pulang terburu-buru untuk menceritakan nasib buruknya.
"Mengapa kamu menjual di sudut pasar? Saya sendiri tidak pernah mendengar orang yang menjual pecah-belah di sudut pasar!" kata si Miskin. "Berhentilah menangis. Saya lihat kamu tidak cocok mengerjakan pekerjaan biasa. Saya telah mencoba bertanya di istana kerajaan ini, siapa tahu mereka bisa menerima kamu bekerja sebagai pembantu di dapur, dan mereka tidak keberatan untuk menerima kamu. Kamu juga akan menerima makanan secara gratis di sana."
Lalu sang Putri pun bekerja menjadi pembantu di dapur, menjadi suruhan tukang masak dan melakukan pekerjaan yang berat. Di setiap saku bajunya, dia mengikat sebuah pot kecil, dan membawa pulang sisa-sisa makanan untuk dia dan suaminya.
Suatu hari, di istana diselenggarakan pernikahan untuk pangeran yang tertua. Sang Putri yang sudah hidup miskin, naik ke lantai atas dan berdiri di pintu untuk melihat pesta yang diselenggarakan secara besar-besaran. Saat lampu di mana pesta diadakan mulai dinyalakan dan tamu telah tiba, semua orang terlihat gagah dan cantik, sehingga sang Putri menjadi sedih dengan nasib yang dialaminya, menyesali semua keangkuhan dan kesombongan yang membuatnya jatuh miskin seperti sekarang.
Saat pelayan lewat sambil membawa piring-piring yang berisikan makanan yang lezat lalu-lalang di depannya, pelayan tersebut membagi sedikit makanan untuk sang Putri yang langsung diselipkan ke dalam sakunya, dengan rencana akan dibawa pulang untuk dimakan bersama suaminya.
Sang Pangeran sendiri lewat di didepannya dengan baju dan jubah sutranya, lengkap dengan perhiasan emas yang melingkari lehernya. Saat sang Pangeran melihat wanita cantik yang berdiri di pintu, sang Pangeran lalu memegang tangannya dan mengajak sang Putri untuk berdansa dengannya, tetapi sang Putri menolak bahkan menjadi gemetar saat melihat bahwa  pangeran tersebut sebenarnya adalah Raja Dagu Lancip yang pernah datang untuk meminang dirinya dan mendapatkan ejekan dari sang Putri.
Saat sang Putri berusaha melepaskan genggaman tangan sang Raja Dagu Lancip, tali yang mengikat pot pada sakunya terputus, dan pot yang tersimpan di sana menjadi pecah dan isinya berhamburan keluar. Saat orang melihat kejadian itu, semua tertawa terbahak-bahak. Sang Putri pun bergegas meninggalkan istana dengan perasaan malu, tetapi sebuah tangan menggenggam kembali tangannya. Saat sang Putri berbalik dan melihat ke belakang, dilihatnya Raja Dagu Lancip tengah menatap wajahnya dengan serius.
"Janganlah takut, saya sebenarnya adalah si Miskin yang tinggal bersama kamu di gubuk kecil itu. Demi cintaku kepadamu, saya menyamar jadi orang lain. Saya pulalah yang memecahkan pot jualanmu saat saya menyamar menjadi pengendara kuda yang mabuk. Saya melakukan semua ini untuk menundukkan hatimu yang angkuh, sekaligus menghukum tingkahmu yang tidak pantas.
Sang Putri pun menangis dan berkata, "Saya telah melakukan banyak kesalahan besar, dan saya tidak pantas menjadi istrimu."
Tetapi sang Raja Dagu Lancip berkata, "Beranikanlah dirimu, semua sifat-sifat burukmu telah hilang, mari kita hadiri pesta ini, karena pesta yang sekarang saya adakan sebenarnya adalah pesta pernikahan kita."
Lalu saat itu, datanglah pengiring pengantin yang memakaikannya gaun pengantin yang indah. Tidak lama kemudian, ayah sang Putri juga datang beserta seluruh bangsawan dari kerajaan ayahnya, mengucapkan selamat atas pesta pernikahannya dengan Raja Dagu Lancip. Mereka akhirnya pun hidup berbahagia selamanya.

Pangeran Kodok

Pangeran Kodok

Pada jaman dahulu kala, ketika saat itu dengan mengharapkan sesuatu, hal itu dapat terwujud, ada seorang Raja yang mempunyai putri-putri yang sangat cantik jelita, dan putrinya yang termuda begitu cantiknya sehingga matahari sendiri yang melihat kecantikan putri termuda itu menjadi ragu-ragu untuk bersinar. Di dekat istana tersebut terletak hutan kayu yang gelap dan rimbun, dan di hutan tersebut, di bawah sebuah pohon tua yang mempunyai daun-daun berbentuk hati, terletak sebuah sumur; dan ketika cuaca panas, putri Raja yang termuda sering ke hutan tersebut untuk duduk di tepi sumur yang dingin, dan jika waktu terasa panjang dan membosankan, dia akan mengeluarkan bola yang terbuat dari emas, melemparkannya ke atas dan menangkapnya kembali, hal ini menjadi hiburan putri raja untuk melewatkan waktu.
Suatu ketika, bola emas itu dimainkan dan dilempar-lemparkan keatas, bola emas itu tergelincir dari tangan putri Raja dan terjatuh di tanah dekat sumur lalu terguling masuk ke dalam sumur tersebut. Mata putri raja hanya bisa memandangi bola tersebut meluncur kedalam sumur yang dalam, begitu dalamnya hingga dasar sumur tidak kelihatan lagi. Putri raja tersebut mulai menangis, dan terus menangis seolah-olah tidak ada hyang bisa menghiburnya lagi. Di tengah-tengah tangisannya dia mendengarkan satu suara yang berkata kepadanya,
"Apa yang membuat kamu begitu sedih, sang Putri? air matamu dapat melelehkan hati yang terbuat dari batu."
Dan ketika putri raja tersebut melihat darimana sumber suara tersebut berasal, tidak ada seseorangpun yang kelihatan, hanya seekor kodok yang menjulurkan kepala besarnya yang jelek keluar dari air.
"Oh, kamukah yang berbicara?" kata sang putri; "Saya menangis karena bola emas saya tergelincir dan jatuh kedalam sumur."
"Jangan kuatir, jangan menangis," jawab sang kodok, "Saya bisa menolong kamu; tetapi apa yang bisa kamu berikan kepada saya apabila saya dapat mengambil bola emas tersebut?"
"Apapun yang kamu inginkan," katanya; "pakaian, mutiara dan perhiasan manapun yang kamu mau, ataupun mahkota emas yang saya pakai ini."
"Pakaian, mutiara, perhiasan dan mahkota emas mu bukanlah untuk saya," jawab sang kodok; "Bila saja kamu menyukaiku, dan menganggap saya sebagai teman bermain, dan membiarkan saya duduk di mejamu, dan makan dari piringmu, dan minum dari gelasmu, dan tidur di ranjangmu, - jika kamu berjanji akan melakukan semua ini, saya akan menyelam ke bawah sumur dan mengambilkan bola emas tersebut untuk kamu."
"Ya tentu," jawab sang putri raja; "Saya berjanji akan melakukan semua yang kamu minta jika kamu mau mengambilkan bola emas ku."
Tetapi putri raja tersebut berpikir,  "Omong kosong apa yang dikatakan oleh kodok ini! seolah-olah sang kodok ini bisa melakukan apa yang dimintanya selain berkoak-koak dengan kodok lain, bagaimana dia bisa menjadi pendamping seseorang."
Tetapi kodok tersebut, begitu mendengar sang putri mengucapkan janjinya, menarik kepalanya masuk kembali ke dalam ari dan mulai menyelam turu, setelah beberapa saat dia kembali kepermukaan dengan bola emas pada mulutnya dan melemparkannya ke atas rumput.
Putri raja menjadi sangat senang melihat mainannya kembali, dan dia mengambilnya dengan cepat dan lari menjauh.
"Berhenti, berhenti!" teriak sang kodok; "bawalah aku pergi juga, saya tidak dapat lari secepat kamu!"
Tetapi hal itu tidak berguna karena sang putri itu tidak mau mendengarkannya dan mempercepat larinya pulang ke rumah, dan dengan cepat melupakan kejadian dengan sang kodok, yang masuk kembali ke dalam sumur.
Hari berikutnya, ketika putri Raja sedang duduk di meja makan dan makan bersama Raja dan menteri-menterinya di piring emasnya, terdengar suara sesuatu yang meloncat-loncat di tangga, dan kemudian terdengar suara ketukan di pintu dan sebuah suara yang berkata "Putri raja yang termuda, biarkanlah saya masuk!"
Putri Raja yang termuda itu kemudian berjalan ke pintu dan membuka pintu tersebut, ketika dia melihat seekor kodok yang duduk di luar, dia menutup pintu tersebut kembali dengan cepat dan tergesa-gesa duduk kembali di kursinya dengan perasaan gelisah. Raja yang menyadari perubahan tersebut berkata,
"Anakku, apa yang kamu takutkan? apakah ada raksasa berdiri di luar pintu dan siap untuk membawa kamu pergi?"
"Oh.. tidak," jawabnya; "tidak ada raksasa, hanya kodok jelek."
"Dan apa yang kodok itu minta?" tanya sang Raja.
"Oh papa," jawabnya, "ketika saya sedang duduk di sumur kemarin dan bermain dengan bola emas, bola tersebut tergelincir jatuh ke dalam sumur, dan ketika saya menangis karena kehilangan bola emas itu, seekor kodok datang dan berjanji untuk mengambilkan bola tersebut dengan syarat bahwa saya akan membiarkannya menemaniku, tetapi saya berpikir bahwa dia tidak mungkin meninggalkan air dan mendatangiku; sekarang dia berada di luar pintu, dan ingin datang kepadaku."
Dan kemudian mereka semua mendengar kembali ketukan kedua di pintu dan berkata,
"Putri Raja yang termuda, bukalah pintu untuk saya!, Apa yang pernah kamu janjikan kepadaku? Putri Raja yang termuda, bukalah pintu untukku!"
"Apa yang pernah kamu janjikan harus kamu penuhi," kata sang Raja; "sekarang biarkanlah dia masuk."
Ketika dia membuka pintu, kodok tersebut melompat masuk, mengikutinya terus hingga putri tersebut duduk kembali di kursinya. Kemudian dia berhenti dan memohon, "Angkatlah saya supaya saya bisa duduk denganmu."
Tetapi putri Raja tidak memperdulikan kodok tersebut sampai sang Raja memerintahkannya kembali. Ketika sang kodok sudah duduk di kursi, dia meminta agar dia dinaikkan di atas meja, dan disana dia berkata lagi,
"Sekarang bisakah kamu menarik piring makanmu lebih dekat, agar kita bisa makan bersama."
Dan putri Raja tersebut melakukan apa yang diminta oleh sang kodok, tetapi semua dapat melihat bahwa putri tersebut hanya terpaksa melakukannya.
"Saya merasa cukup sekarang," kata sang kodok pada akhirnya, "dan saya merasa sangat lelah, kamu harus membawa saya ke kamarmu, saya akan tidur di ranjangmu."
Kemudian putri Raja tersebut mulai menangis membayangkan kodok yang dingin tersebut tidur di tempat tidurnya yang bersih. Sekarang sang Raja dengan marah berkata kepada putrinya,
"Kamu adalah putri Raja dan apa yang kamu janjikan harus kamu penuhi."
Sekarang putri Raja mengangkat kodok tersebut dengan tangannya, membawanya ke kamarnya di lantai atas dan menaruhnya di sudut kamar, dan ketika sang putri mulai berbaring untuk tidur, kodok tersebut datang dan berkata, "Saya sekarang lelah dan ingin tidur seperti kamu, angkatlah saya keatas ranjangmu, atau saya akan melaporkannya kepada ayahmu."
Putri raja tersebut menjadi sangat marah, mengangkat kodok tersebut keatas dan melemparkannya ke dinding sambil menangis,
"Diamlah kamu kodok jelek!"
Tetapi ketika kodok tersebut jatuh ke lantai, dia berubah dari kodok menjadi seseorang pangeran yang sangat tampan. Saat itu juga pangeran tersebut menceritakan semua kejadian yang dialami, bagaimana seorang penyihir telah membuat kutukan kepada pangeran tersebut, dan tidak ada yang bisa melepaskan kutukan tersebut kecuali sang putri yang telah di takdirkan untuk bersama-sama memerintah di kerajaannya.
Dengan persetujuan Raja, mereka berdua dinikahkan dan saat itu datanglah sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda dan diiringi oleh Henry pelayan setia sang Pangeran untuk membawa sang Putri dan sang Pangeran ke kerajaannya sendiri. Ketika kereta tersebut mulai berjalan membawa keduanya, sang Pangeran mendengarkan suara seperti ada yang patah di belakang kereta. Saat itu sang Pangeran langsung berkata kepada Henry pelayan setia, "Henry, roda kereta mungkin patah!", tetapi Henry menjawab, "Roda kereta tidak patah, hanya ikatan rantai yang mengikat hatiku yang patah, akhirnya saya bisa terbebas dari ikatan ini".
Ternyata Henry pelayan setia telah mengikat hatinya dengan rantai saat sang Pangeran dikutuk menjadi kodok agar dapat ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh sang Pangeran, dan sekarang rantai tersebut telah terputus karena hatinya sangat berbahagia melihat sang Pangeran terbebas dari kutukan.

Angin dan Matahari

Angin Utara dan Matahari

Angin Utara dan Matahari berdebat tentang siapa diantara mereka yang lebih kuat. Sementara mereka berdebat dengan hebat, seorang pengembara berjalan melewati suatu jalan dengan badan terbungkus jubah.
"Mari kita buktikan" kata Matahari, "bahwa yang terkuat diantara kita adalah siapa saja yang bisa membuat pengembara itu membuka jubahnya. "
"Baiklah," kata Angin Utara , dan seketika itu juga meniupkan angin kencang yang dingin kepada pengembara itu.
Dengan hembusan angin yang kencang, ujung jubah yang dipakai pengembara, tertiup ke belakang. Tetapi ia segera membungkus erat jubah itu ke tubuhnya, dan semakin kuat angin bertiup, semakin erat ia membungkus tubuhnya. Angin utara berusaha merobek jubah pengembara itu dengan tiupan anginnya, namun semua usahanya sia-sia.
Tibalah giliran matahari. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Pada awalnya sinar yang dikeluarkan cukup lembut , dan dalam sekejap, kehangatan menggantikan rasa dingin dari Angin Utara. Sang Pengembara kemudian melonggarkan jubahnya dan membiarkannya tergantung dari bahunya. Sinar matahari kemudian bersinar lebih terik dan makin terik. Pria itu melepaskan topinya dan mengusap alisnya yang basah oleh keringat. Akhirnya ia menjadi kepanasan sehingga ia melepaskan jubahnya, dan untuk menghindari sinar matahari yang terik, ia berteduh di bawah naungan bayangan pohon di pinggir jalan.

Angsa bertelur Emas

Angsa dan Telur Emas

Dahulu kala, ada seorang petani yang memiliki seekor angsa yang sangatlah cantik, dimana setiap hari ketika petani tersebut mendatangi kandang angsa, sang Angsa telah menelurkan sebuah telur emas yang berkilauan.
Petani tersebut mengambil dan membawa telur-telur emas tersebut ke pasar dan menjualnya sehingga dalam waktu yang singkat petani tersebut mulai menjadi kaya. Tetapi tidak lama kemudian keserakahan dan ketidak-sabaran petani itu terhadap sang Angsa muncul karena sang Angsa hanya memberikan sebuah telur setiap hari. Sang Petani merasa dia tidak akan cepat menjadi kaya dengan cara begitu.
Suatu hari, setelah menghitung uangnya, sebuah gagasan muncul di kepala petani, gagasan bahwa dia akan mendapatkan semua telur emas sang Angsa sekaligus dengan cara memotong sang Angsa. Tetapi ketika gagasan tersebut dilaksanakan, tidak ada sebuah telur yang dapat dia temukan, dan angsanya yang sangat berharga terlanjur mati dipotong.

Anjing Nakal

Anjing yang Nakal

Ada seekor anjing yang sangat nakal dan jahat sehingga majikannya mengikatkan sebuah balok yang cukup berat di lehernya agar orang mengetahui kehadiran anjing tersebut dan bisa menghindari anjing itu.  Tetapi sang Anjing yang nakal itu sangat bangga akan kalung dan balok kayu itu, dia bahkan berlari-larian sambil menyeret-nyeret balok kayu tersebut dengan ributnya untuk menarik perhatian orang lain. Tetapi tak ada satupun orang yang senang melihat anjing itu.
Seekor anjing lain yang melihatnya kemudian berkata "Kamu seharusnya lebih bijaksana dan berdiam diri di rumah agar orang tidak melihat balok yang dikalungkan di lehermu. Apakah kamu senang bahwa semua orang tahu betapa nakal dan jahatnya kamu?"

Ayam dan Burung Elang

Ayam  dan Burung Elang

Di suatu daerah pertanian, hiduplah dua ekor ayam jantan yang saling bermusuhan dan sering berkelahi antara keduanya. Pada suatu hari, mereka memulai pertengkaran dan kembali berkelahi, saling mematuk dan mencakar. Mereka berkelahi terus hingga salah satunya di kalahkan dan lari menjauh ke sudut untuk bersembunyi.
Ayam jantan yang memenangkan perkelahian itu dengan bangganya terbang ke atas atap kandang, dan mengkepak-kepakkan sayapnya, berkokok dengan sangat bangga dan kerasnya seolah-olah dia ingin memberi tahukan ke seluruh dunia tentang kemenangannya. Tetapi saat itu seekor burung elang yang terbang di udara mendengar dan akhirnya melihat ayam tersebut di atas atap. Burung elang tersebut akhirnya turun dan menyambar dan menerkam ayam jantan yang jadi pemenang tadi untuk dibawa ke sarangnya.
Ayam yang satunya yang tadinya dikalahkan, melihat seluruh kejadian itu dan keluar dari tempat persembunyiannya dan mengambil tempat sebagai pemenang di perkelahian tadi.

Saturday, 23 January 2016

Kisah Legenda Si Lancang Kuning

Si Lancang Kuning
Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai buruh tani.

Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin
pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.

Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.

Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.

Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan
kemewahan dan kekayaan Si Lancang.

Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang. Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot mintauntuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan. Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu,. dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."

Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu." Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana.

Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

Kisah Legenda Si Putri Ular

Legenda Putri Ular 

Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut.

“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.

“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.

Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, SEOrang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.

“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.

“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.

Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.

Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.

Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.

Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu. 

Kisah Legenda Batu Menangis

Batu Menangis

Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan.
 Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.

“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.
Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.

Kisah Legenda Si Malin Kundang

Si Malin Kundang
Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.
Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh.
"Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.

Kisah Legenda Danau Toba

Kisah Legenda Danau Toba

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. "Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar," gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya.

 Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. "Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku." Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. "Bermimpikah aku?," gumam petani.
"Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata," kata gadis itu. "Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu," kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. "Dia mungkin bidadari yang turun dari langit," gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. "Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! " kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petan dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan sang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. "Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!" kata Petani kepada istrinya. "Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik," puji Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

Jhon yang pemalas

Pada suatu masa, hiduplah seorang anak laki-laki yang bernama Jhon dan hidup bersama dengan ibunya. Mereka sangatlah miskin dan ibunya yang sudah tua itu menghidupi mereka dengan berkerja sebagai penenun, tetapi Jhon sendiri adalah anak yang sangat malas dan tidak pernah mau melakukan apapun selain berjemur di matahari pada hari yang panas, dan duduk di sudut rumah saat musim dingin. Sehingga dia dipanggil Jhon si Pemalas. Ibunya sendiri tidak pernah dapat membuat Jhon melakukan sesuatu untuknya, dan akhirnya suatu hari da berkata kepada Jhon, bahwa apabila dia tidak mulai bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, ibunya itu tidak akan memperdulikan dia lagi.
Hal ini merisaukan Jhon, dan dia lalu keluar rumah mencari pekerjaan pada hari berikutnya di tetangganya yang petani dan berhasil mendapatkan satu penny (mata uang Inggris); tetapi karena selama ini dia tidak pernah pulang kerumah sambil memegang uang, dia kehilangan uangnya ketika melewati sebuah sungai.
"Anak bodoh," kata ibunya, "kamu seharusnya menaruh uangmu di kantong."
"Saya akan melakukannya lain kali," kata Jhon si Pemalas.
Hari berikutnya, Jhon kembali keluar untuk bekerja pada seorang pembuat roti yang tidak memberinya apa-apa kecuali seekor kucing yang besar. Jack lalu mengambil kucing tersebut, dan membawanya dengan hati-hati di tangannya, tetapi kucing tersebut mencakar tangannya sehingga dia harus melepaskan kucing tersebut yang kemudian lari menghilang.
Ketika dia pulang kerumah, ibunya berkata kepadanya, "Kamu anak yang bodoh, seharusnya kamu mengikatnya dengan tali dan menariknya untuk mengikutimu."
"Saya akan melakukannya lain kali," kata Jhon.
Pada hari berikutnya, Jhon keluar dan bekerja pada seorang penjagal, yang memberikan dia hadiah berupa daging domba yang besar. Jhon mengambil daging domba tersebut, mengikatnya dengan tali, dan menyeretnya di tanah sepanjang jalan, sehingga ketika dia tiba dirumah, daging domba tersebut telah rusak sama sekali. Ibunya kali ini tidak berkata apa apa kepadanya, dan pada hari minggu, ibunya mengharuskan dia membawa pulang kubis untuk dimasak nanti.
"Kamu harus membawanya pulang dan memanggulnya di pundakmu."
"Saya akan melakukannya di lain waktu," kata Jhon.
Pada hari senin, Jhon si Pemalas bekerja pada seorang penjaga ternak, yang memberikan dia seekor keledai sebagai upahnya.Walaupun Jack sangat kuat, dia masih merasa kewalahan untuk menggendong keledai itu di pundaknya, tetapi akhirnya dia memanggul keledai tersebut di pundaknya dan berjalan pelan ke rumah membawa hadiahnya. Di tengah perjalanan dia berjalan di depan sebuah rumah dimana rumah tersebut di huni oleh orang kaya dengan seorang anak gadis satu-satunya, seorang gadis yang sangat cantik, yang tuli dan bisu. Dan gadis tersebut tidak pernah tertawa selama hidupnya. Dokter pernah berkata bahwa gadis itu tidak akan pernah bisa berbicara sampai seseorang bisa membuatnya tertawa. Ayahnya yang merasa sedih itu berjanji bahwa dia akan menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang bisa membuat anak gadisnya tertawa. Disaat itu juga sang gadis kebetulan melihat keluar jendela pada saat Jhon lewat di depan rumahnya sambil menggendong keledai di bahunya; dimana keledai tersebut menendang-nendangkan kakinya ke udara secara liar dan meringkik-ringkik dengan keras. Pemandangan itu begitu lucu sehingga sang putri tertawa tergelak-gelak dan saat itu juga memperoleh kemampuannya untuk mendengar dan berbicara. Ayahnya yang begitu bahagia melihat anaknya telah dapat berbicara dan mendengar, memenuhi janjinya dengan menikahkan anak gadisnya itu dengan Jhon si Pemalas, yang kemudian menjadi orang yang kaya juga. Mereka kemudian tinggal bersama-sama di sebuah rumah yang besar dengan ibu Jhon dan hidup berbahagia hingga akhir hayat mereka.

Rusa dan Babi Hutan

Seekor babi hutan sedang sibuk mengasah taringnya pada sebuah batang pohon. Bertepatan dengan saat itu, secara kebetulan lewatlah seekor rubah. Rubah yang suka mengolok-olok teman-teman dan tetangganya, langsung mengoloknya dengan berpura-pura melihat kesana-kemari, seolah-olah takut pada musuh yang tidak terlihat. Tetapi sang Babi Hutan tidak memperdulikan tingkah sang Rubah dan tetap melanjutkan pekerjaannya.
"Mengapa engkau melakukan hal tersebut?" kata sang Rubah dengan senyum mengejek. "Saya tidak melihat ada musuh dan bahaya di sini."
"Kamu benar, memang sekarang tidak ada musuh dan bahaya yang mengancam" jawab sang Babi Hutan, "tetapi ketika musuh benar-benar datang, saya tidak akan sempat mengasah taring saya lagi seperti sekarang. Saat musuh dan bahaya datang ke sini nantinya, setidak-tidaknya saya telah memiliki senjata untuk menghadapinya."

Singa dan Kelinci bertelinga panjang

Seekor singa terluka karena tersedak oleh sebuah tanduk kambing hutan yang tidak sengaja tertelan sewaktu makan. Dia menjadi sangat marah dan menganggap bahwa semua hewan yang menjadi mangsanya seharusnya tidak memiliki tanduk yang berbahaya seperti itu, yang dapat membuatnya terluka saat makan.
Karena itu dia lalu memerintahkan semua hewan yang memiliki tanduk, segera meninggalkan hutannya dalam waktu satu hari.Perintahnya membuat semua hewan dalam hutan
menjadi ketakutan. Semua hewan yang memiliki tanduk, secepatnya berkemas-kemas dan meninggalkan hutan tersebut. Termasuk seekor kelinci, yang kita tahu, tidak memiliki tanduk. Kelinci tersebut begitu khawatirnya sampai susah tidur di malam itu dan bermimpi buruk tentang singa.

Dan ketika dia keluar dari sarangnya di pagi hari, dilihatnya bayangan dirinya di tanah, dengan telinganya yang panjang, seolah-olah dia memiliki tanduk yang sangat panjang, sang Kelinci menjadi sangat ketakutan.
"Selamat tinggal tetanggaku semua," katanya. "Saya akan meninggalkan hutan ini. Sang Singa pasti menganggap bahwa telinga saya ini adalah tanduk, walaupun itu tidak benar."

Nelayan dan seekor Ikan

Seorang nelayan miskin yang hidup berdasarkan ikan hasil tangkapannya, pada suatu hari mengalami nasib kurang beruntung dan hampir tidak mendapatkan tangkapan apapun selain seekor ikan kecil. Saat sang Nelayan itu akan memasukkan ikan tersebut ke keranjang yang dibawanya, ikan kecil itu berkata:
"Mohon lepaskan aku, tuan nelayan! Saya sangat kecil hingga tidak berharga untuk dibawa pulang ke rumah. Saat saya menjadi lebih besar nanti, saya akan menjadi santapan yang lebih lezat untuk tuan."
Tetapi sang Nelayan tetap menaruh ikan tersebut di keranjangnya.
"Betapa bodohnya saya jika melepaskan ikan ini." kata Nelayan. "Bagaimana kecilpun ikan yang saya tangkap, tetap lebih baik daripada tidak ada tangkapan sama sekali."

Sang Ular putih

Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Hampir tidak ada yang berita yang tidak diketahui olehnya, seolah-olah berita dan rahasia mengalir melalui udara hingga sampai ke telinganya.
Raja itu memiliki satu kebiasaan aneh. Setiap makan malam, saat pelayan yang melayaninya pergi meninggalkan dia sendirian, seorang pelayan yang sangat dipercayainya akan datang membawakan satu makanan yang diletakkan di atas sebuah piring. Makanan tersebut selalu tertutup, bahkan sang pelayan yang membawanya, tidak pernah tahu apa isinya, dan sang Raja tidak pernah membukanya kecuali dia benar-benar berada dalam ruangan itu sendirian.
Hal ini berlangsung cukup lama, hingga suatu hari seorang pelayan yang masih muda, yang ditugaskan untuk membawa piring makanan itu, menjadi penasaran dan membawa makanan tersebut ke kamarnya.
Pemuda tersebut mengunci pintu kamarnya, lalu membuka penutup piring untuk melihat isinya, dan di piring tersebut dilihatnya seekor ular yang berwarna putih. Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mencobanya. Dia memotong sedikit bagian dari ular putih itu dan memasukkannya ke mulutnya.
Rasanya terasa tidak enak, tetapi saat itu juga dia bisa mendengarkan bisikan-bisikan merdu dari jauh. Dia lalu menuju ke jendela dan mendengarkannya, dan menyadari bahwa bisikan tersebut datang dari  burung kakatua di luar. Burung kakatua tersebut saling bercakap-cakap tentang hal-hal yang terjadi dan yang mereka lihat atau dengarkan di hutan. Ternyata dengan memakan daging ular putih, memberikan mujizat kepada sang Pemuda untuk mengerti bahasa binatang.
Pada hari yang sama, sang Ratu kehilangan cincinnya yang sangat berharga. Semua kecurigaan ditimpakan kepada pemuda ini, karena dia adalah pelayan kepercayaan yang bebas keluar-masuk ke manapun di dalam istana. Sang Raja pun mengancam akan menghukum pemuda ini apabila cincin yang hilang tidak ditemukan pada keesokan harinya.
Dengan sia-sia pemuda ini membela diri, tetapi tak ada satu pun orang yang percaya kepadanya. Dalam kesedihannya, dia lalu berjalan ke taman istana dan berpikir bagaimana caranya agar bisa lepas dari kesulitan ini. Saat itu, sejumlah bebek yang sedang berenang di sungai kecil, bercakap-cakap riuh dengan sesamanya.
Sang Pemuda mendengarkannya percakapan mereka tentang pengalaman mereka di pagi hari, dan salah satu dari bebek itu berkata: “Saya tanpa sengaja menelan cincin Ratu tadi pagi.”
Pelayan yang masih muda ini langsung mengambil bebek tersebut dan membawanya ke dapur, lalu berkata kepada tukang masak di sana: “Ini adalah bebek yang gemuk, sebaiknya kamu memotongnya untuk dijadikan santapan.”
“Tentu saja,” kata si tukang masak. “Seharusnya bebek ini di panggang semenjak dulu."
Si Tukang masak tersebut lalu memotongnya, dan di dalam perutnya ditemukanlah cincin Ratu. Dengan begitu, sang Pemuda bebas dari segala tuduhan, dan raja yang merasa bersalah karena telah berlaku tidak adil tadinya, berjanji akan memberikan jabatan di istana apabila sang Pemuda menginginkannya.
Tetapi sang Pemuda menolaknya dengan halus, dan hanya meminta sebuah kuda, dan sedikit uang untuk mengembara, karena dia hanya ingin berkelana melihat dunia luar.
Permintaannya dikabulkan, dan dia pun mulai mengembara.
Suatu hari, dia tiba di pinggir laut dan di sana dilihatnya tiga ekor ikan yang terjebak pada akar-akar tanaman yang tumbuh di pinggir laut. Karena pemuda tersebut memiliki hati yang baik, dia lalu turun dari kudanya, membebaskan ketiga ikan tersebut. Ikan-ikan tersebut berenang dengan gembira, menyembulkan kepalanya dari air dan berkata, “Kami akan ingat selalu perbuatan baikmu, dan akan membalasnya dengan kebaikan.”
Sang Pemuda kembali melanjutkan perjalanannya dan tidak berapa lama, dia mendengarkan satu suara dari tanah di bawah kakinya. Dia mendengar raja semut mengeluh: “Saya berharap manusia dan binatang peliharaannya tidak melalui jalanan kami. Kuda itu baru saja menginjak banyak semut.”
Sang Pemuda pun langsung memutarkan kudanya agar tidak menginjak barisan semut yang lewat, dan raja semut pun berkata: “Kami akan mengingat kebaikanmu dan memberikan kamu balasan yang setimpal.”
Di perjalanan selanjutnya, dia melewati suatu hutan, dan dilihatnya sepasang burung gagak berdiri di sarangnya dan mendorong keluar anak-anak gagak yang masih sangat muda.
“Pergilah sekarang,” kata sepasang gagak, "Kami tidak akan memberikan kalian makanan lagi, sebab kalian sudah cukup besar untuk menjaga diri sendiri.”
Anak-anak burung gagak yang masih sangat muda itu akhirnya jatuh dan terbaring di tanah karena belum mampu untuk terbang. Mereka mencoba untuk mengepak-ngepakkan sayapnya kembali dengan sia-sia dan berkata: “Kami, anak gagak yang malang dan tidak berdaya, belum mampu untuk mencari makan sendiri, bahkan kami pun belum mampu untuk terbang! Tidak lama lagi kami akan mati kelaparan.”
Sang Pemuda lalu turun dari kudanya, mencari-cari ulat di tanah untuk disuapkan kepada anak-anak gagak terebut. Anak-anak gagak itu semuanya melompat-lompat gembira dan berkata: “Kami akan mengingat kebaikanmu, dan akan memberikan balasan yang setimpal.”
Sang Pemuda kemudian melanjutkan perjalanannya dan tiba di suatu kota besar. Di satu tempat dilihatnya kerumunan orang yang ramai mengelilingi seseorang yang duduk di atas kudanya dan membacakan sayembara. “Putri raja akan mencari suami, semua pemuda boleh mengikuti sayembara, tetapi apabila pemuda itu gagal dalam sayembara, maka dia akan menerima hukuman dari raja.”
Banyak pemuda yang ikut dalam sayembara itu, tetapi selalu gagal dan menerima hukuman. Saat sang Pemuda melihat kecantikan putri raja, dia menjadi terkagum-kagum dan melupakan semua bahaya dengan mendaftarkan dirinya sebagai peserta sayembara.
Dia langsung di bawa ke tepi laut untuk diuji, dan sebuah cincin emas di lemparkan ke dalam laut. Kemudian raja menyuruhnya untuk mengambilnya dari dalam laut yang cukup dalam sambil berkata: “Jika kamu kembali ke daratan tanpa membawa cincin itu, kamu akan dihukum dan dilemparkan kembali ke laut.”
Semua orang yang hadir untuk menonton sayembara, menjadi iba dan menaruh belas kasihan terhadap pemuda itu. Sang Pemuda lalu berjalan menuju ke laut sembari berpikir apa yang akan dilakukannya. Pada saat itu dilihatnya tiga ekor ikan berenang ke arahnya. Mereka tidak lain merupakan ikan yang pernah diselamatkannya.
Ikan yang di tengah, menggigit sebuah kulit tiram dan meletakkannya di pasir pada pinggiran laut dekat kaki sang Pemuda, yang langsung sigap mengambilnya dan membuka isinya. Sang Pemuda itu menemukan cincin yang tadinya dilemparkan oleh sang Raja di dalam kulit tiram tersebut.
Enggan gembira, dia membawanya ke hadapan sang Raja dan berharap bahwa raja akan memenuhi janjinya. Saat sang Putri mendengar bahwa pemuda yang memenangkan sayembara berasal dari kalangan biasa, maka dia meminta sang Raja untuk menambah sayembara itu dengan ujian yang lain.
Oleh karena itu, sang Pemuda dibawa ke suatu taman untuk diuji lagi. Di taman tersebut telah ditaburkan sepuluh kantung biji gandum di antara rumput-rumputan.
“Dia harus memungut semuanya sebelum matahari terbit besok pagi,” kata sang Putri, “dan jangan sampai ada sebutir pun yang tertinggal.”
Sang Pemuda duduk merenung sedih di taman itu sambil berpikir bagaimana melakukan tugas yang tidak mungkin tersebut. Dia hanya duduk termenung sedih hingga pagi hari. Saat sinar matahri pertama menyinari taman, dilihatnya di taman itu sudah tersusun sepuluh kantung biji gandum tanpa ada sebutir gandum pun yang hilang. Ternyata pada malam hari, raja semut datang dengan ratusan ribu semut lain dan membantunya mengumpulkan biji gandum.
Sang Putri yang datang untuk melihat sendiri hasil sayembaranya, terkejut dan kagum saat mengetahui keberhasilan sang Pemuda menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi dia masih keras kepala dan dengan angkuh berkata: “Walaupun dia telah menyelesaikan dua ujian, dia tidak akan bisa menjadi suami saya kecuali dia bisa membawakan saya buah apel dari pohon kehidupan.”
Sang Pemuda tidak mempunyai gagasan di mana dia bisa mendapatkan pohon kehidupan. Tetapi bagaimanapun juga, dia tetap berangkat dan berjalan tanpa tujuan, dengan harapan yang sangat tipis untuk bisa menemukan pohon tersebut.
Saat dia telah melintasi tiga kerajaan, dia tiba di suatu hutan dan berbaring di bawah satu pohon rindang untuk beristirahat. Tiba-tiba didengarnya bunyi gemerisik di atas pohon dan sebuah apel emas jatuh ke tangannya. Pada saat bersamaan, tiga ekor burung gagak terbang dan hinggap dekat kakinya sambil berkata: “Kami adalah burung gagak muda yang pernah engkau selamatkan. Saat kami tumbuh dewasa, kami mendengar bahwa kamu mencari apel emas, kami menyeberangi lautan hingga ke ujung dunia di mana pohon tersebut berada, dan membawa buah apel yang tumbuh di pohon tersebut untukmu.”
Sang Pemuda menjadi sangat gembira, dan melanjutkan pejalanan pulang untuk memberikan apel tersebut kepada sang Putri. Saat dia tiba di tempat tujuan dan menepati janjinya untuk memberikan apel tersebut sebagai syarat sayembara, sang Putri menjadi terharu dan tidak memiliki alasan lain lagi untuk menolak sang Pemuda.
Sang Putri pun membagi apel kehidupan itu untuk dimakan bersama sang Pemuda. Saat itu hati mereka berdua diliputi kegembiraan, dan akhirnya hidup berbahagia selama-lamanya.